Minggu, 06 Januari 2013

AGAMA DAN ILMU

AGAMA DAN ILMU Agama, garis sosial dengan pengaruh besar dalam kehidupan. Agama memiliki pengaruh besar, ideologi, dan dasar hidup bagi manusia untuk menjalani kehidupan sehari-harinya. Agama juga merupakan hukum yang paling mendasar di dunia, hukum yang statis, tidak terbantahkan, sehingga menjadi sebuah budaya, kebiasaan, peraturan, undang-undang, hingga pandangan hidup terkuat untuk mencapai kesejahteraan hidup seorang manusia. Dihubungkan dengan masyarakat, tiap masyarakat memiliki kepercayaan tersendiri. Mereka sudah ditentukan dan dibentuk sejak lahir agar dapat menentukan petak kehidupan mereka di masa depan. Tentunya, seluruh masyarakat menginginkan kehidupan yang baik, sejahtera, dan damai, seperti yang tertera jelas pada hukum-hukum agama. Sebuah kedamaian otentik merupakan tujuan semua agama, bukan satu agama saja. Anehnya, visi yang sama itu tidak dapat terlihat secara jelas. Hal itu karena detail-detail yang tidak penting dibahas secara mendalam, ataupun dijadikan sumber perbedaan pendapat, hingga menimbulkan konflik. Tidak hanya konflik kecil, melainkan konflik internasional yang sudah terlihat jelas seperti konflik abadi (cantoh: perang salib dan terorisme dengan misi membrantas kaum kafir). Jika ini terus terjadi, visi tersebut tidak akan terlihat lagi sebagai satu tujuan antaragama. Seharusnya perbedaan dan konflik bisa diselesaikan dengan langkah-langkah mudah, tapi dirumitkan oleh pola pikir manusia yang amat pendek. Jika sudah begini, siapa yang salah, dan siapa yang benar, tetap terlihat "Transparan". Secara umum, agama adalah aturan sosial yang dirancang untuk memberikan kebersamaan kolektif yang berkaitan dengan aspek yang tidak dapat diketahui dari kehidupan manusia, kematian dan keberadaan, serta dilema yang sulit timbul dalam proses pembuatan keputusan moral. Dengan demikian, agama tidak hanya memberikan tanggapan terhadap masalah manusia abadi dan pertanyaan, tetapi juga merupakan suatu dasar bagi kohesi sosial dan solidaritas dan memberikan ajaran hidup beretika dan bermoral. Karena ini adalah karya referensi sosiologi, seharusnya tidak mengejutkan bahwa definisi agama menekankan pada aspek-aspek sosial agama. Aspek psikologis dan pengalaman diabaikan sama sekali, itulah sebabnya definisi ini hanya digunakan terbatas. Fakta bahwa ini adalah definisi yang tepat dalam sosiologi menunjukkan bahwa asumsi umum agama yang terutama atau semata-mata sebuah "kepercayaan kepada Tuhan" adalah dangkal. Agama adalah sistem keyakinan, praktek dan organisasi yang bentuknya nyata terutama etika dalam berperilaku semua pengikutnya. Keyakinan agama adalah interpretasi dari pengalaman langsung dengan mengacu pada struktur dasar alam semesta, pusat-pusat kekuasaan dan takdir, ini yang selalu dipahami sebagai supernatural. Perilaku dalam ritual merupakan contoh pertama; praktek standar, dimana orang percaya dan berperilaku dalam bentuk simbolik dihubungkan dengan supernatural. Definisi ini terfokus pada aspek sosial dan psikologis agama. Hal ini tidak mengherankan dalam referensi ilmu sosial. Meskipun menurut agama, interpretasi alam semesta adalah "selalu" supranatural, keyakinan semacam itu hanya dianggap sebagai satu aspek dari apa yang bukan merupakan ciri khas tunggal. Ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai tubuh pengetahuan tentang manusia dan alam semesta yang didasarkan pada observasi, eksperimen, dan pengukuran, sedangkan agama mewujudkan ajaran-ajaran yang didasarkan pada iman dan kepercayaan, maka kedua domain tersebut akan terjerumus ke dalam konflik apabila mereka diperlakukan secara epistemologis. Alasan ini tidak bisa dihindari. Sebagian besar agama mengandung kosmologi dan biologi, yaitu, di dalam agama ada penjelasan tentang asal usul alam semesta dan kehidupan di planet ini. Dalam artian, ajaran yang paling religius meliputi klaim ilmiah. Namun, karena agama telah berabad-abad mengambil porsi dalam ilmu pengetahuan, maka konflik terjadi ketika ilmu pengetahuan yang sebenarnya muncul sebagai aktivitas manusia yang berbeda dan terorganisir. Konflik ini tidak menjadi jelas di Barat sampai abad keenam belas dan ketujuh belas. "Perang" yang berkembang pada waktu itu, antara ilmu dan agama, ditunjukkan oleh perjuangan epik Galileo dengan Gereja Katolik atas teori heliosentris Copernicusnya. Meskipun akhirnya dipaksa untuk menarik kembali teorinya oleh Inkuisisi (lembaga-pengadilan Gereja Katolik), Galileo tetap mengembangkan metode ilmiahnya, dengan konsekuensi mendapat penolakan dari otoritas mutlak pemimipin lembaga gereja Katolik. Pada saat semua agama – ajaran hidup berdasar keyakinan dan kehormatan dan ketaatan pada moral dan etika yang murni – menjadi Lembaga (Institusi), agama selalu akan berperan di medan politik dan menjauhkan diri dari umatnya. Perang ini terus sampai sekarang, dan mencapai klimaksnya pada abad ke-19 dalam pertempuran antara dogma penciptaan dalam agama (Genesis) dan teori evolusi Darwin. Perlu dicatat, bagaimanapun ilmu pengetahuan tidak bisa muncul jika tidak dibebaskan dari dogmatis. Itu adalah perkembangan pemikiran keagamaan yang akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan modern. Robert Merton (1938) telah menyarankan untuk mengikuti jejak Max Weber yaitu perkembangan dalam Protestanisme menyebabkan munculnya budaya rasionalisme individualistik kondusif di abad ketujuh belas di Inggris (revolusi industri). Dalam dunia kontemporer, ilmu pengetahuan dan bukan agama cenderung memiliki status budaya yang lebih besar dan signifikan. Satu indeks dari pembicaraan ini adalah sejauh mana gerakan keagamaan baru, seperti Christian Science dan Scientology, mencoba mendekat pada prestise ini untuk diri mereka sendiri dengan memasukkan ilmu menjadi judulnya. Namun, tidak dapat diasumsikan bahwa ilmu pengetahuan adalah master lengkap dari medan perang. Meskipun set-piece pertempuran abad kesembilan belas mungkin telah dimenangkan oleh ilmu pengetahuan, pertempuran masih terus berlanjut. Memang, ada yang menyatakan bahwa babak baru pertempuran akan segera dimulai, menyusul kekecewaan populer yang berkembang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang menandai dekade 1960-an dan 1970 serta krisis yang lebih baru dari kepercayaan sekuler berpikir diwakili oleh " peralihan ke postmodernisme". Tentu saja tahun 1980-an dan 1990-an kita telah melihat serentetan buku yang dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pemikiran ilmiah modern, dan pemikiran kosmologi modern, adalah konsonan jika tidak benar-benar mendukung posisi agama. Gerakan ini dimulai pada tahun 1984 ketika Paul Davies, profesor fisika matematika di University of Adelaide, menerbitkan Allah dan Fisika Baru (Cambridge University Press 1984), hanya untuk menerima lebih jauh dorongan dari keberhasilan sensasional dari Stephen Hawking lewat bukunya Sejarah Singkat Waktu (Oxford University Press 1988), sebuah buku yang berakhir dengan kalimat, "Jika kita menemukan jawaban [terhadap masalah teori yang lengkap alam semesta] itu akan menjadi kemenangan akhir manusia. Alasan untuk kemudian kita benar-benar akan mengetahui pikiran Tuhan”. Inilah komentar yang mendorong Paul Davies untuk menulis Pikiran Allah (Heinemann 1992) di mana ia mencoba untuk membuktikan secara logis dan ilmiah bahwa Tuhan, atau semacam hal yang tertinggi ini harus ada dalam kehidupan manusia. Penulis lain telah mengikuti Davies dan mencoba untuk menunjukkan bahwa mungkin secara ilmiah Tuhan ikut campur tangan di alam semesta tanpa melanggar hukum alam. Sementara baru-baru ini Frank Tipler, dalam Fisika Kematian: Kosmologi modern, Tuhan dan Kebangkitan Orang Mati (Macmillan 1995), telah mencoba untuk menyatakan bahwa alam semesta diciptakan agar kita bisa berada di sini untuk mengamatinya. Teologi harus dipahami sebagai sebuah cabang fisika. Upaya ini memasukkan kosmologi ilmiah ke dalam pandangan dunia agama, dan dengan cara yang agak mengingatkan pada teori Huxley dan teori evolusi Darwin, ahli biologi Richard Dawkins telah muncul untuk membela ilmu ateistik . Dawkins, The Blind Watchmaker (Longman 1986) dan The Selfish Gene (Oxford University Press 1989) mengamati bahwa istilah Allah, yang digunakan dalam pengertian fisikawan tidak ada hubungannya dengan Tuhan dalam Alkitab atau dalam agama lain. Jika seorang fisikawan mengatakan bahwa Allah adalah nama lain untuk konstanta Planck, atau Allah adalah superstring, kita harus menerimanya sebagai cara metafora indah untuk mengatakan bahwa sifat superstring atau nilai konstanta Planck adalah misteri yang mendalam. Bahasan Prof Dr Komaruddin Hidayat pada judul buku baru karangan Karen Armstrong, "Masa Depan Tuhan" (2011) dalam edisi bahasa Indonesia. Armstrong adalah penulis keagamaan yang serius, tradisi risetnya kuat, sehingga pantas jika lebih dari 15 bukunya masuk ranking terlaris di dunia. Tuhan dalam kajian Armstrong adalah Tuhan yang menyejarah, yang hidup di tengah dan bersama pemeluknya,Tuhan yang kemudian melahirkan komunitas orang beriman dan sekian banyak tradisi dan institusi agama. Jadi, Tuhan sebagai Yang Mahatinggi dan Absolut tentu tidak dibatasi waktu, tak mengenal kemarin, sekarang, dan masa depan. Bahkan juga tidak terpahami oleh akal pikiran. Kita terlalu banyak berbicara tentang Tuhan akhir-akhir ini dan apa yang kita katakan sering dangkal, kata Armstrong. Di samping menyajikan dinamika jejak-jejak Tuhan dan pengaruhnya dalam sejarah manusia, buku ini secara tidak langsung menjawab paham ateisme modern yang berciri sangat rasional dan ilmiah (scientific atheism) yang telah memukau masyarakat modern dan anak-anak muda di Barat. Selama abad ke-16 dan ke-17, di Barat lahir peradaban baru yang diatur dengan rasionalitas ilmiah dan ekonomi yang berbasis pada teknologi serta penanaman modal. Sejak itu satu-satunya ukuran kebenaran adalah metode ilmiah. Logos mengalahkan mitos. Padahal di dalam mitos keagamaan terkandung kebenaran dan kebajikan yang tidak dapat dijangkau oleh logos. Tafsiran yang serba rasional atas agama menimbulkan dua fenomena baru yang sangat khas: fundamentalisme dan ateisme. Selama ini tokoh yang mengembangkan paham ateisme selalu merujuk pada Feurbach, Karl Marx, Nietzsche, atau Freud yang muncul di abad ke- 19.Tetapi sekarang bermunculan paham ateisme baru yang dimotori terutama oleh Richard Dawkin,Christopher Hitchens, dan Sam Haris. Dalam karya-karya mereka akan ditemukan argumentasi ilmiah kontemporer untuk menyerang umat beragama yang masih mempercayai Tuhan dan campur tangan-Nya dalam sejarah. Terhadap serangan yang dimaksud, buku Armstrong ini turut berdiri sebagai pembelaan terhadap eksistensi agama-agama. Logika dan pendekatan ilmiah, terlebih yang mengandalkan paham empirisisme-positivisme, tidak akan pernah mampu memotret dan menganalisis misteri kehidupan, keberagamaan dan kebertuhanan. Berbagai karya Armstrong secara serius berhasil menyajikan betapa agama dan keyakinan pada Tuhan selalu hadir pada panggung sejarah dan turut memengaruhi manusia dalam memaknai hidupnya. Agama, keyakinan dan pemahaman terhadap Tuhan, senantiasa berinteraksi dengan perkembangan sejarah sebuah masyarakat dengan segala aspeknya. Karena itu, katanya, memahami kitab suci hanya sebatas kata-kata literernya akan menyesatkan dan mengalami reduksi, tidak sampai pada pesan inti agama. Di sisi lain, arogansi ilmiah dalam memahami agama telah mendorong munculnya respons balik berupa fundamentalisme agama. Perubahan mind-set pemahaman agama dan kehidupan di Eropa sangat dipengaruhi oleh ekspedisi Christopher Columbus pada 1492 yang berhasil menemukan benua baru Amerika, yang disponsori Raja Katolik Ferdinand dan Isabella. Berita keberhasilan ini menyebar bagaikan wabah baru, bahwa di luar Eropa ternyata ada dunia lain yang sangat menarik untuk dieksplorasi. Jadi, ekspedisi, eksplorasi, perpindahan penduduk dan penyebaran informasi baru selalu melahirkan sintesa budaya baru, yang diawali dengan masalah dan tantangan baru. Hari ini, apa yang terjadi pada abad ke-15 di Eropa telah merata di seluruh dunia melalui jejaring internet dan dunia maya. Masyarakat terkondisikan untuk berani melampaui batas-batas dunia yang diketahui. Pertemuan dan benturan berbagai tradisi dan informasi budaya serta agama ini telah membuat sebagian besar umat beragama gamang dan ”shocked”. Bahwa klaim kebenaran, keilahian, dan surga ternyata juga dimiliki oleh kelompok umat agama lain. Sementara itu, ada juga kelompok yang secara gigih menentang adanya Tuhan dan ingin menghapus agama. Perasaan tidak nyaman dan terancam dalam beragama inilah akar munculnya gerakan fundamentalisme . Mengutip Armstrong, fundamentalisme adalah iman yang sangat reduktif. Dalam kecemasan dan ketakutan mereka, kaum fundamentalis sering mendistorsi tradisi yang mereka coba bela, misalnya dengan sangat selektif membaca ayat-ayat kitab suci yang membenarkan kekerasan dan permusuhan terhadap umat yang berbeda keyakinan. Kaum fundamentalis yakin bahwa mereka berjuang atas nama Tuhan, tetapi sebenarnya religiositas jenis ini mewakili kemunduran dari Tuhan. Demikianlah, dunia terus berputar. Sejarah terus bergulir merekam sepak terjang pemikiran dan perilaku manusia. Agama pun sering kali jadi sasaran kritik dan caci maki. Tetapi nyatanya agama tetap hidup dan berkembang.Tuhan selalu berada di hati manusia. Ini membenarkan pandangan yang mengatakan bahwa ”agama memiliki seribu nyawa”. Kalaupun mati satu, masih lebih banyak yang bertahan hidup. Orang boleh saja mengkritik perilaku umat beragama dan berbagai institusi keagamaan yang dibangunnya, tapi kesadaran, kebutuhan dan keyakinan agama masih tetap menggelora. Dengan agama seseorang mencari makna dan tujuan hidup yang lebih hakiki dan mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar